RAGAM RBCOM - Kompleksitas persoalan sosial di Kota Bandung mendorong DPRD untuk menata ulang kebijakan di bidang kesejahteraan masyarakat. Melalui Panitia Khusus (Pansus) 12, DPRD Kota Bandung kini tengah membahas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Perubahan Kedua atas Perda Nomor 24 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan dan Penanganan Kesejahteraan Sosial.

Anggota Pansus 12, Juniarso Ridwan, menyebutkan bahwa pembaruan regulasi ini sangat penting agar kebijakan sosial pemerintah daerah dapat lebih adaptif terhadap perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat.

“Permasalahan sosial semakin kompleks dan dinamis. Karena itu, diperlukan penyesuaian aturan agar kebijakan Pemerintah Kota Bandung dapat lebih tepat sasaran dan menjawab kebutuhan masyarakat,” ujarnya.

Pembaruan perda ini dilakukan seiring dengan terbitnya Peraturan Menteri Sosial (Permensos) Nomor 4 Tahun 2021, yang memperluas nomenklatur profesi pekerja sosial serta memperbarui ketentuan teknis di bidang kesejahteraan sosial.

Menurut Juniarso, hasil pembahasan sementara menunjukkan bahwa perubahan yang dilakukan mencapai hampir 50 persen dari isi perda sebelumnya. Karena itu, DPRD menilai perda lama sudah tidak relevan lagi dan perlu diganti dengan perda baru yang lebih komprehensif.

“Perubahan yang dibahas hampir mencapai setengah isi perda lama, jadi memang perlu pembaruan total agar regulasi ini sesuai dengan kebutuhan sekarang,” ujarnya.

Salah satu poin yang menjadi perhatian adalah mengenai pengumpulan uang dan barang oleh Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS). Juniarso menjelaskan bahwa pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam pengawasan kegiatan tersebut, meski izin utamanya tetap diatur oleh pemerintah pusat.

Selain itu, ia juga menyoroti persoalan penyaluran bantuan sosial (bansos) yang dinilai masih belum tepat sasaran. Banyak penerima bantuan, kata dia, tidak termasuk dalam kategori masyarakat prioritas yang seharusnya mendapat dukungan.

“Pemkot Bandung perlu memperbarui dan memverifikasi data penerima bansos secara berkala melalui pengecekan lapangan yang cermat,” tegas politisi Fraksi Golkar itu.

Juniarso menilai, penyelenggaraan kesejahteraan sosial di daerah harus dilakukan lebih terarah dan transparan, terutama dalam perencanaan dan pengalokasian anggaran di APBD Kota Bandung.

Ia menekankan agar pemerintah kota memberikan perhatian lebih kepada masyarakat rentan, termasuk penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), dengan memastikan adanya dukungan anggaran yang memadai untuk menjamin kehidupan yang layak.

“Pemkot Bandung perlu memberikan perhatian lebih kepada masyarakat yang tergolong sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial, melalui pengalokasian anggaran yang memadai sehingga mereka dapat hidup layak, berkembang, dan berperan aktif dalam kehidupan sosial,” ujarnya.

Lebih lanjut, Juniarso menegaskan bahwa tanggung jawab menciptakan kesejahteraan sosial bukan hanya milik pemerintah. Ia mendorong adanya kolaborasi lintas sektor, termasuk organisasi sosial, lembaga keagamaan, LSM, hingga dunia usaha.

“Kolaborasi antar-sektor penting untuk mempercepat pengentasan masalah sosial di Kota Bandung,” imbuhnya.

Raperda ini juga mengatur mengenai sanksi administratif, tanpa menitikberatkan pada aspek pidana. Pendekatan kearifan lokal menjadi pilihan dalam penegakan aturan, misalnya melalui kerja sosial yang mendidik dan menumbuhkan empati di masyarakat.

“Raperda ini lebih menekankan pendekatan edukatif dan rehabilitatif agar bisa menumbuhkan kesadaran sosial di masyarakat,” jelasnya.

Juniarso berharap perda yang sedang disusun ini nantinya dapat menjadi payung hukum yang humanis dan solutif, bukan sekadar dokumen normatif.

“Perda ini diharapkan mampu menjadi pengayom sekaligus pendorong tumbuhnya kesadaran sosial di tengah masyarakat Kota Bandung,” tutupnya.***